Okay, setelah ikutan lomba menulis, yang saya belum tau hasilnya - tapi kayaknya kalah deh :p, saya jadi teringat kembali bahwa saya memiliki blog. Hmm.. that's my bad.
Hari ini saya menyelesaikan first assessment week, still there 2 weeks to go, tanpa kepala pusing atau tengkuk berasa ditarik-tarik. Tentu bukan karena saya semakin expert dalam mengajar, apalagi bukan karena kurcaci-kurcaci tersayang yang lagi kesambet dan tiba-tiba melaju pesat, melainkan karena suatu tamparan yang datang tak terduga
Tamparan yang tak terduga? ya iyalah! mana ada tamparan direncanain??
wis, tak jelasken dulu..
Beberapa waktu yang lalu saya ada meeting dengan tim K-3 (yang biasa disebut dengan TK-B, bisa juga TK 0 besar) dan Ibu kepala sekolah. Di dalam meeting tersebut, kami para guru mencurahkan keluh kesah dan pertanyaan seputar rapot kami yang unik (mau tau uniknya seperti apa? itu rahasia perusahaan..haha). 'Kebetulan' rapot tersebut memang sudah tidak bisa diubah lagi formatnya di tahun ini, sehingga saya bertanya, 'Lalu apa yang harus kami lakukan apabila banyak anak yang tidak bisa mencapai kompetensi A?'. Beliau pun menjawab, kira-kira begini, 'O.. tidak apa-apa, Ms. Memang kita kan tidak bisa memaksakan semua anak dapat mencapainya. Nilai saja apa adanya.'
Sebenarnya jawaban tersebut adalah jawaban yang klise *tengok kiri kanan, takut si ibu tersinggung* dan bukankah seharusnya saya sudah tau mengenai hal itu? Tetapi yang ada di kepala saya selalu bagaimana caranya agar siswa saya mencapai potensi maksimal (TUJUAN MULIA) hingga akhirnya (BERUBAH MENJADI) keinginan itu berubah menjadi, 'POKOKNYA GIMANA PUN CARANYA KAMU HARUS BISA!' (KEJAHATAN)
Fiuuuhhh.. dan dengan pikiran itu biasanya lahirlah sutrisno-sutrisno (aka STRESS) yang menyiksa saya dan kurcaci-kurcaci kocak saya.
Hari itu saya merasa tertampar, bagaimana mungkin ternyata selama ini yang menjadi pembuat masalah di kelas sesungguhnya saya sendiri dan bukan anak-anak?
setelah hari itu saya berubah. Harus diakui, saya merasa Tuhan memakai Ibu Kepsek saya untuk mengingatkan mengenai hal ini (ini hal langka, itulah kenapa saya bilang tamparan tak terduga).
Esoknya saya kembali ke kelas dengan pandangan yang berbeda. Memandang bahwa assessment adalah untuk menilai progress dan kompetensi anak bukan untuk memaksa mereka mencapai kompetensi tersebut hanya karena keegoisan saya sebagai guru.
Betapa seharusnya saya menilai apa adanya sesuai perkembangannya dan tidak membuat mereka stress, sedih, kuciwa karena tidak bisa sepandai murid lainnya.
Sejak Tuhan mengubahkan cara pandang saya melalui diskusi itu, hari-hari untuk meng-assess siswa tidak lagi menjadi hari yang menyiksa bagi saya dan kurcaci-kurcaci kocak saya.
Saya benar-benar bersyukur atas cara Tuhan mengingatkan saya, tak terbayangkan seberapa berat pertanggunganjawab saya di hari penghakiman nanti, kalau saya dibiarkan melakukan kesalahan ini kepada jiwa-jiwa kecil yang mendidik saya setiap hari.
Hmm.. Thanks to the Lord, Thanks to Ibu Kepsek, Thanks to K3 teachers.
Sorry kids for letting you down before :(
Sebagai wujud pertobatan saya, minggu ini, apabila saya mendapati mereka tidak mencapai kompetensi, kemudian wajah mereka sedih karena mereka tahu mereka tidak bisa, saya hanya mengatakan,
'It's okay. At least you try. That's what we need.'
Dengan begitu, si kurcaci senang, dan snow white pun senang :p
Jadi siapa sesungguhnya biang masalah dari assessment week? SAYA biangnya.
Puji Tuhan, saya sudah diubahkan. Bagaimana denganmu?
Hari ini saya menyelesaikan first assessment week, still there 2 weeks to go, tanpa kepala pusing atau tengkuk berasa ditarik-tarik. Tentu bukan karena saya semakin expert dalam mengajar, apalagi bukan karena kurcaci-kurcaci tersayang yang lagi kesambet dan tiba-tiba melaju pesat, melainkan karena suatu tamparan yang datang tak terduga
Tamparan yang tak terduga? ya iyalah! mana ada tamparan direncanain??
wis, tak jelasken dulu..
Beberapa waktu yang lalu saya ada meeting dengan tim K-3 (yang biasa disebut dengan TK-B, bisa juga TK 0 besar) dan Ibu kepala sekolah. Di dalam meeting tersebut, kami para guru mencurahkan keluh kesah dan pertanyaan seputar rapot kami yang unik (mau tau uniknya seperti apa? itu rahasia perusahaan..haha). 'Kebetulan' rapot tersebut memang sudah tidak bisa diubah lagi formatnya di tahun ini, sehingga saya bertanya, 'Lalu apa yang harus kami lakukan apabila banyak anak yang tidak bisa mencapai kompetensi A?'. Beliau pun menjawab, kira-kira begini, 'O.. tidak apa-apa, Ms. Memang kita kan tidak bisa memaksakan semua anak dapat mencapainya. Nilai saja apa adanya.'
Sebenarnya jawaban tersebut adalah jawaban yang klise *tengok kiri kanan, takut si ibu tersinggung* dan bukankah seharusnya saya sudah tau mengenai hal itu? Tetapi yang ada di kepala saya selalu bagaimana caranya agar siswa saya mencapai potensi maksimal (TUJUAN MULIA) hingga akhirnya (BERUBAH MENJADI) keinginan itu berubah menjadi, 'POKOKNYA GIMANA PUN CARANYA KAMU HARUS BISA!' (KEJAHATAN)
Fiuuuhhh.. dan dengan pikiran itu biasanya lahirlah sutrisno-sutrisno (aka STRESS) yang menyiksa saya dan kurcaci-kurcaci kocak saya.
Hari itu saya merasa tertampar, bagaimana mungkin ternyata selama ini yang menjadi pembuat masalah di kelas sesungguhnya saya sendiri dan bukan anak-anak?
setelah hari itu saya berubah. Harus diakui, saya merasa Tuhan memakai Ibu Kepsek saya untuk mengingatkan mengenai hal ini (ini hal langka, itulah kenapa saya bilang tamparan tak terduga).
Esoknya saya kembali ke kelas dengan pandangan yang berbeda. Memandang bahwa assessment adalah untuk menilai progress dan kompetensi anak bukan untuk memaksa mereka mencapai kompetensi tersebut hanya karena keegoisan saya sebagai guru.
Betapa seharusnya saya menilai apa adanya sesuai perkembangannya dan tidak membuat mereka stress, sedih, kuciwa karena tidak bisa sepandai murid lainnya.
Sejak Tuhan mengubahkan cara pandang saya melalui diskusi itu, hari-hari untuk meng-assess siswa tidak lagi menjadi hari yang menyiksa bagi saya dan kurcaci-kurcaci kocak saya.
Saya benar-benar bersyukur atas cara Tuhan mengingatkan saya, tak terbayangkan seberapa berat pertanggunganjawab saya di hari penghakiman nanti, kalau saya dibiarkan melakukan kesalahan ini kepada jiwa-jiwa kecil yang mendidik saya setiap hari.
Hmm.. Thanks to the Lord, Thanks to Ibu Kepsek, Thanks to K3 teachers.
Sorry kids for letting you down before :(
Sebagai wujud pertobatan saya, minggu ini, apabila saya mendapati mereka tidak mencapai kompetensi, kemudian wajah mereka sedih karena mereka tahu mereka tidak bisa, saya hanya mengatakan,
'It's okay. At least you try. That's what we need.'
Dengan begitu, si kurcaci senang, dan snow white pun senang :p
Jadi siapa sesungguhnya biang masalah dari assessment week? SAYA biangnya.
Puji Tuhan, saya sudah diubahkan. Bagaimana denganmu?